Minggu, 02 Februari 2014

PROSESI PETANI DI INDONESIA

     Di awal tahun tahun 2013 adalah awal langkah nyata dan berani dari pemerintah dengan keberpihakan dan kebahagiaan bagi petani di Indonesia, dimana  pemerintah lewat kementrian Pertanian dan Perdagangan memberlakukan pengaturan impor produk hortikultura Indahnya berprofesi jadi petani.....
sebagai salah satu upaya untuk membangkitkan gairah hortikultura lokal agar bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Meskipun disana sini masih menemui beberapa ganjalan, kebijakan itu telah memberikan sebuah harapan baru bagi para petani dan pelaku hortikultura di negeri yang hampir 60 % persen penduduknya mendapatkan kehidupan dari bercocok tanam ini. Dengan kebijakan seperti ini diharapkan produk Hortikultura ( Sebagai langka awal ) kita dapat menjadi bintang dan primadona di negeri sendiri, yang pada akhirnya kembali juga manfaatnya ke petani dan negara. 
    Melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor: 60/Permentan/OT.140/9/2012 dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 60 Tahun 2012, pemerintah melakukan pengaturan impor terhadap 13 jenis produk hortikultura, yaitu: enam jenis buah-buahan (durian, nanas, melon, pisang, mangga, dan pepaya), empat jenis sayuran (kentang, cabai, kubis, dan wortel), dan tiga jenis bunga (krisan, anggrek, dan heliconia). Ke-13 komoditas itu selama periode Januari hingga Juni 2013 tidak direkomendasikan masuk ke Indonesia.
Tanpa adanya daya dukung kebijakan pemerintah petani kita tidak akan berdaya saing terhadap gempuran produk Hortikultura Impor dan selanjutnya akan berimplementasi terhadap ketahanan pangan ( Khususnya Hortikultura ). Sebagai partisipasi langkah  kami mendukung kebijakan tersebut maka, untuk kebutuhan benih Hortikultura bisa hubungi kami di www.lmgaagro.web.id. Kami secara profesional akan melayani sepenuh hati dan sanggup mengirim ke seluruh Indonesia.
     Menurut Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian, Hasanuddin Ibrahim, pengaturan impor produk hortikultura itu didasarkan pada pertimbangan melimpahnya produksi dalam negeri.
“Sebenarnya tidak ada pembatasan impor, tapi kita hanya melakukan pengaturan waktu impor. Kapan boleh masuk dan kapan tidak boleh masuk. Karena untuk buah-buahan, pada triwulan I dan II ini sedang panen-panennya,” ujar Hasanuddin di sela-sela acara Festival Hortikultura Jawa Tengah III yang digelar di Pusat Pelayanan Agribisnis Petani BW Agro Center Soropadan, Temanggung (11/3).
Sebenarnya, lanjut Hasanuddin, importir sendiri sudah tahu dan hafal kapan waktu yang tepat untuk memasukkan barang ke Indonesia. Hanya saja, dibutuhkan niatan yang baik untuk mempertimbangkan juga aspek kepentingan petani hortikultura kita sendiri. Oleh karena itu, dibuatlah kebijakan untuk lebih menegaskan hal itu sekaligus melindungi petani dalam negeri.
“Mereka sudah tahu, dan semua khalayak saya kira juga tahu, kapan waktunya petani kita panen dan kapan tidak ada panenan. Importir semestinya juga harus sayang pada petani kita. Sesama bangsa kita harus saling sayang. Kalau memang petani kita sedang punya barang, ya jangan mengimpor dong,” ungkap Hasanuddin.
Hasanuddin juga menegaskan bahwa impor tidak akan bisa menyelesaikan semua permasalahan. Potensi sumber daya hortikultura Indonesia yang sangat melimpah harus dioptimalkan dan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sekaligus dijadikan peluang untuk memenuhi permintaan pasar luar negeri yang juga cukup besar.
“Jangan semuanya diselesaikan dengan impor. Tanam dong. Kalau anda pengusaha punya uang, ikutlah tanam. Investasi di dalam negeri. Penduduk kita kan banyak, ciptakan lapangan kerja di dalam negeri. Kalau impor kan cuma berapa tenaga kerjanya,” tegas Hasanuddin.
Perlu langkah nyata
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung, Bustanul Arifin, seperti dimuat dalam harian Kompas (Senin, 4/2/2013), mengungkapkan, apa yang telah dilakukan pemerintah tersebut adalah suatu hal yang bagus, meskipun terkesan cukup lambat.

    Menurut ekonom senior INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) itu, setelah memperoleh tekanan dari masyarakat, pemerintah pelan-pelan mulai bergerak untuk membangun dan mendorong kemajuan buah lokal, sayur khas domestik, dan bunga eksotik domestik, yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif.
“Masyarakat cukup resah terhadap kinerja ekonomi hortikultura yang jauh dari memadai, apalagi jika dibandingkan dengan potensi dan peluang yang demikian besar,” tulis Bustanul.
Jika dicermati, lanjut Bustanul, nilai impor produk hortikultura Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan yang signifikan. Di tahun 2007, volume impornya hanya sebesar US$ 798 juta. Kemudian naik menjadi US$ 1,7 miliar di tahun 2011. Lantas pada periode Januari-Juli 2012 saja, volume impor produk hortikultura sudah mencapai US$ 1 miliar, atau setara Rp. 10 triliun. Dimana lebih dari separuhnya, yakni US$ 600 juta, disumbangkan oleh impor buah.
Yang menarik, papar Bustanul, buah yang diimpor Indonesia itu tidak hanya berupa buah subtropis yang sulit dikembangkan di dalam negeri, seperti apel merah, anggur, pir, dan kiwi, tapi juga buah-buahan tropis yang dimiliki Indonesia. Lantas pemerintah, melalui Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan, secara berkala mengeluarkan beberapa ketentuan impor hortikultura yang dimaksudkan untuk melindungi petani hortikultura di dalam negeri.
Kebijakan pengaturan impor itu sendiri mendapat protes keras dari Pemerintah Amerika Serikat. Negeri Paman Sam itu telah melayangkan notifikasi kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas kebijakan Indonesia yang melakukan pembatasan impor produk hortikultura dan impor hewan dan produk hewan. Alasannya, kebijakan tersebut dinilai kompleks dan berdampak buruk bagi kegiatan ekspor produk hortikultura dan daging dari AS.
Menurut Bustanul, tidak ada pilihan bagi Indonesia, selain segera menjawab protes AS itu dalam waktu 60 hari, sebelum meningkat menjadi permintaan arbitrase yang lebih rumit dan menguras energi. Untuk itu, Indonesia bisa saja menggunakan argumen perdagangan adil, karena hortikultura belum didaftarkan sebagai produk khusus sebagaimana beras, jagung, kedelai, dan gula.
“Ketentuan klausul proteksi pada produk khusus ini masih dapat dibenarkan WTO sepanjang untuk ketahanan pangan, pengentasan rakyat miskin, dan pembangunan pedesaan. Rentang, jenis, dan macam produk hortikultura tentu terlalu banyak dan beragam untuk didaftarkan sebagai produk khusus. Argumen ”proteksi demi keadilan” masih cukup relevan untuk digunakan sebagai hak jawab bagi Indonesia dalam menghadapi notifikasi AS tentang ketentuan impor produk hortikultura,” tulisnya.
Bustanul juga menekankan pentingnya pemahaman bahwa kebijakan pemerintah terkait pengaturan impor produk hortikultura tersebut semata-mata untuk kepentingan nasional yang lebih luas, yaitu untuk memberikan perlindungan dan sistem insentif bagi peningkatan produksi dan produktivitas dalam negeri.
Namun demikian, lanjut Bustanul, perbaikan struktur perdagangan dan distribusi produk hortikultura di dalam negeri harus segera dilakukan oleh para perumus kebijakan di bidang pertanian dan perdagangan. Pasalnya, kebijakan proteksi dan pembatasan impor tersebut tidak akan membawa dampak kesejahteraan bagi petani hortikultura jika tidak ada langkah nyata di lapangan.
“Dukungan pembiayaan bagi petani hortikultura perlu segera diwujudkan sebelum Juni 2013. Skema pembayaran pelaku usaha ritel dan supermarket kepada petani perlu disederhanakan, dengan rentang waktu yang diperpendek, jika perlu secara tunai. Pembenahan aransemen kelembagaan ini lebih efektif untuk menggairahkan produksi dan meningkatkan produktivitas hortikultura. Inilah esensi diplomasi ekonomi hortikultura di pasar domestik yang juga penting,” pungkas Bustanul dalam tulisannya. 
     Oleh karena itu di dibutuhkan langkah kerja yang nyata dan terintegrasi dari semua komponen-komponen yang bisa mendukung suksesnya kemandirian pertanian dan petani di negeri kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar